Sabtu, 25 Agustus 2012

Pemasok fospat di lahan pertanian.

Di Jepang, bunga matahari tak sekadar tanaman hias dan solusi mengatasi radiasi nuklir. Ia diandalkan sebagai pemasok fospat di lahan pertanian.
Itulah pemandangan di kawasan pertanian Shonai, Yamagata Prefecture, kawasan Barat-Laut Pulau Honshu, Jepang. Kawasan ini dikenal sebagai sentra produksi kedelai varietas dadachamame. Di sana bunga matahari Helianthus annus ditanam pada lahan yang bersisian dengan lahan kedelai yang tumbuh subur. Bunga matahari ditanam berjarak 75 cm x 30 cm.
Pasca gempa-tsunami yang mengakibatkan bocornya PLTN Fukushima, banyak lahan pertanian di Jepang tak lagi dapat diolah. Terutama di bagian Timur pulau Honshu, meliputi provinsi Fukushima dan Ibaraki. Tanah pertanian di sana tercemar bahan radioaktif dari pembangkit listrik tenaga nuklir. Penanaman bunga matahari pun mulai digiatkan untuk menyerap bahan radioaktif dari tanah.
Tapi di kawasan Shonai bunga matahari ditanam dalam skala luas semata-mata untuk penyubur tanah. Isu radiasi tak menjadi momok bagi petani di sini. Jarak antara Fukushima – Shonai cukup jauh, sekitar 200 km. Gunung Gassan yang menjulang setinggi 1800 m dpl serta pebukitan yang berjejer di antara kedua wilayah menjadi sekat radiasi. Radiasi dalam jumlah kecil tetap saja terdeteksi, berkisar 0,042 microsievert/jam. Angka ini dianggap setara dengan tingkat radiasi alami yang dipancarkan batuan di kerak bumi.
Menurut Soma Kazuhiro, petani organis pendiri Gassan Pilot Farm, bunga matahari ditanam pada bentang yang luas—setara dengan luasan kedelai—sebagai bagian dari pergiliran tanaman. Namun begitu bunga matahari tua, ia dibabat begitu saja tanpa dipanen bijinya. Lazimnya bunga matahari dipanen sebagai bahan pangan atau ekstrak minyak. Biomassa bunga matahari dibiarkan membusuk di lahan sebagai pemasok fosfat pada musim berikutnya. Itulah teknik bertani organik untuk memenuhi kebutuhan fosfat kedelai dan tanaman lainnya.

Gilir Tanam

Sejatinya dulu kawasan itu bukan sentra pertanian organik. Semula saat lulus Fakultas Pertanian Universitas pada 1970 Soma Kazuhiro juga menggunakan pupuk anorganik dan pestisida sintetik. Ia baru beralih ke pertanian organik ketika lahir keinginan tak ingin putranya yang saat itu masih balita mengkonsumsi pangan dari hasil pertanian yang menyisakan residu beracun. Niat Soma gayung bersambut karena bertemu juga dengan sekelompok calon konsumen yang menginginkan makanan sehat dan bebas pestisida sintetik.
Proyek pertanian organik yang ia namai Gassan Pilot Farm pun dimulai di lahan sewaan seluas 5 ha yang tandus dan berbatu. Ternyata sekadar bertani organik boros dan melelahkan. Contoh kebutuhan kompos per tahun mencapai 500 ton alias 100 ton per ha. Padahal hasil panen semua jenis tanaman hanya 200 ton atau 40 ton per ha. Perbandingan antara masukan dan hasil panen sangat tak seimbang.
“Ternyata bertani organik bukan hanya memakai pupuk organik. Saya sadar hal terpenting dalam bertani tanpa bahan sintetis adalah pergiliran tanaman,” tutur Soma. Ia lalu belajar teknik pergiliran tanaman tradisional Jepang dengan menggali pengetahuan petani-petani tua di sekitar Shonai. Fakta itu mirip dengan di tanahair. Sebetulnya bertani organik di Jepang pun sebuah ilmu tua yang dipraktekkan turun temurun sebelum era modern. Ia pun mulai meniru budidaya bergilir padi, keluarga kentang, keluarga kubis, lobak merah (turnip), wortel, dan kacang terutama kedelai.
Dengan rotasi itu Soma menghemat kompos 50%, tanpa mengurangi hasil panen. Produksi beras (bukan lagi gabah, red) rata-rata 4,5 ton per hektar per musim tanam. Sayang, rotasi pun ternyata tak berjalan mulus meski hasil panen stabil. Lambat laun Soma Kazuhiro menemukan gejala tak normal pada sebagian tanaman budidaya, terutama tumbuhan sesayur buah yang sekerabat dengan kentang. Pertumbuhan terung dan tomat cenderung melambat, berpostur pendek, berbatang kurus dan lemah. Tampak pula rona kebiruan pada daun. Sebagian buah berukuran kecil dan berwarna tak cerah. Tanda-tanda itu ia kenali sebagai gejala kekurangan unsur hara fosfat (P).
Usut punya usut lahan di Gassan Pilot Farm banyak mengandung unsur alumunium (Al). Alumunium terlarut dalam bentuk Al3+ punya kemampuan mengikat fosfat yang ditaburkan ke tanah. Fosfat pun terikat dalam bentuk senyawa alumunium phospat (AlPO4) yang mengendap dan tak larut. Fospat dalam bentuk tersebut tak dapat diserap akar tanaman. Akibatnya tanaman kurang mendapat pasokan fosfat.
Menambah konsentrasi batuan fosfat atau fosfat anorganik ke dalam tanah juga bukan jawaban. Bila kebanyakan fosfat cenderung mengendap dan membentuk lapisan yang keras. Ia lantas mencari cara lain sebagai solusi. Dari sebuah buku “Explicit Green Manure Plant” ia menemukan ilham memanfaatkan bunga matahari sebagai pupuk alami sumber fosfat.
Soma Hajime, putra Soma Kazuhiro yang kini memimpin Gassan Pilot Farm mengemukakan hasil penelitian sebuah universitas di Jepang. Ada banyak mikroorganisme yang mampu melepas ikatan Al pada P yang disebut mikroorganisme pelarut fosfat. Mikroorganisme organisme itu terbagi dalam dua kelompok besar yakni, bakteri dan fungi. Ternyata perakaran anggota keluarga kenikir-kenikiran itu selalu didomplengi jamur atau fungi Mycorrhiza Vesicular-Arbuscular (MVA). Mycorrhiza yang berasosiasi dengan bunga matahari termasuk tipe yang mampu melepaskan fosfat yang terikat alumunium. Ia mengeluarkan beragam asam organik dan enzim sehingga P terlepas lalu dapat diserap tanaman inang.
Sejak itu Gassan Pilot Farm menggilir lahan pascatanaman utama dengan bunga matahari. Biomassanya—biasanya berumur 4 bulan bulan pascatanam—dibiarkan membusuk dan terurai menyediakan fosfat siap serap bagi tanaman. Sejatinya teknik itu mirip dengan mengistirahatkan (bera) tanah dalam teknik pertanian tradisional di beberapa wilayah di Indonesia. Bedanya dalam masa istirahat lahan ditanami tanaman yang dapat memulihkan lahan yang “lelah” berproduksi.
“Meski ia bagian dalam pergiliran tanaman, periode penanamannya bisa 10 tahun sekali. Tapi di negeri tropis, bisa saja ditanam dengan frekuensi yang lebih sering dan periode tanam yang lebih singkat,” tutur Hajime Soma.

Layak Tiru
Bungamatahari sebagai pemasok fungi pelarut fosfat mengundang decak kagum Yukiko Oyanagi. Staff ahli pertanian di Asian Rural Institute itu mengaku baru mengetahui hal itu. “Saya sudah berkeliling ke pertanian organik di banyak negara di seluruh Asia dan Pasific, tapi baru menemukan di sini. Ini sebuah terobosan yang ramah lingkungan,” katanya. Ia juga mengakui kondisi tanah jepang banyak mengandung unsur logam seperti alumunium dan besi. Penyebabnya bahan induk tanah kebanyakan berasal dari muntahan material gunung berapi yang banyak terdapat di Jepang.
Kondisi alam Jepang bisa dikatakan serupa dengan di tanahair. Negeri Matahari Terbit itu berada di jalur pegunungan berapi (ring of fire) dan tanahnya cenderung masam. Pada tanah masam, fosfat yang dapat diserap tanaman akan sangat kecil meski diberikan masukan berlimpah dari luar. Fosfor akan terikat oleh alumunium (AlPO4), besi (FePO4), dan kadang terikat oleh mangan (MnPO4).
Di tanah air jenis tanah masam seperti Ultisol, Alfisol, dan Entisol pun banyak mengandung Alumunium terlarut. Bukan tidak mungkin teknik ala pertanian Shonai, Jepang, dapat diadopsi di Indonesia. Ia tentu tak hanya menyuburkan tanah secara alami. Lahan pertanian pun bakal terlihat cantik.
Memang yang cantik selalu cocok buat petani. Ahahaha!
#Juga dimuat Trubus edisi November 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar