Di Jepang, bunga matahari tak sekadar
tanaman hias dan solusi mengatasi radiasi nuklir. Ia diandalkan sebagai
pemasok fospat di lahan pertanian.
Itulah pemandangan di kawasan pertanian
Shonai, Yamagata Prefecture, kawasan Barat-Laut Pulau Honshu, Jepang.
Kawasan ini dikenal sebagai sentra produksi kedelai varietas
dadachamame. Di sana bunga matahari Helianthus annus ditanam pada lahan
yang bersisian dengan lahan kedelai yang tumbuh subur. Bunga matahari
ditanam berjarak 75 cm x 30 cm.
Pasca gempa-tsunami yang mengakibatkan
bocornya PLTN Fukushima, banyak lahan pertanian di Jepang tak lagi dapat
diolah. Terutama di bagian Timur pulau Honshu, meliputi provinsi
Fukushima dan Ibaraki. Tanah pertanian di sana tercemar bahan radioaktif
dari pembangkit listrik tenaga nuklir. Penanaman bunga matahari pun
mulai digiatkan untuk menyerap bahan radioaktif dari tanah.
Tapi di kawasan Shonai bunga matahari
ditanam dalam skala luas semata-mata untuk penyubur tanah. Isu radiasi
tak menjadi momok bagi petani di sini. Jarak antara Fukushima – Shonai
cukup jauh, sekitar 200 km. Gunung Gassan yang menjulang setinggi 1800 m
dpl serta pebukitan yang berjejer di antara kedua wilayah menjadi sekat
radiasi. Radiasi dalam jumlah kecil tetap saja terdeteksi, berkisar
0,042 microsievert/jam. Angka ini dianggap setara dengan tingkat radiasi
alami yang dipancarkan batuan di kerak bumi.
Menurut Soma Kazuhiro, petani organis
pendiri Gassan Pilot Farm, bunga matahari ditanam pada bentang yang
luas—setara dengan luasan kedelai—sebagai bagian dari pergiliran
tanaman. Namun begitu bunga matahari tua, ia dibabat begitu saja tanpa
dipanen bijinya. Lazimnya bunga matahari dipanen sebagai bahan pangan
atau ekstrak minyak. Biomassa bunga matahari dibiarkan membusuk di lahan
sebagai pemasok fosfat pada musim berikutnya. Itulah teknik bertani
organik untuk memenuhi kebutuhan fosfat kedelai dan tanaman lainnya.
Gilir Tanam
Sejatinya dulu kawasan itu bukan sentra pertanian organik. Semula saat lulus Fakultas Pertanian Universitas pada 1970 Soma Kazuhiro juga menggunakan pupuk anorganik dan pestisida sintetik. Ia baru beralih ke pertanian organik ketika lahir keinginan tak ingin putranya yang saat itu masih balita mengkonsumsi pangan dari hasil pertanian yang menyisakan residu beracun. Niat Soma gayung bersambut karena bertemu juga dengan sekelompok calon konsumen yang menginginkan makanan sehat dan bebas pestisida sintetik.
Proyek pertanian organik yang ia namai
Gassan Pilot Farm pun dimulai di lahan sewaan seluas 5 ha yang tandus
dan berbatu. Ternyata sekadar bertani organik boros dan melelahkan.
Contoh kebutuhan kompos per tahun mencapai 500 ton alias 100 ton per ha.
Padahal hasil panen semua jenis tanaman hanya 200 ton atau 40 ton per
ha. Perbandingan antara masukan dan hasil panen sangat tak seimbang.
“Ternyata bertani organik bukan hanya
memakai pupuk organik. Saya sadar hal terpenting dalam bertani tanpa
bahan sintetis adalah pergiliran tanaman,” tutur Soma. Ia lalu belajar
teknik pergiliran tanaman tradisional Jepang dengan menggali pengetahuan
petani-petani tua di sekitar Shonai. Fakta itu mirip dengan di
tanahair. Sebetulnya bertani organik di Jepang pun sebuah ilmu tua yang
dipraktekkan turun temurun sebelum era modern. Ia pun mulai meniru
budidaya bergilir padi, keluarga kentang, keluarga kubis, lobak merah
(turnip), wortel, dan kacang terutama kedelai.
Dengan rotasi itu Soma menghemat kompos
50%, tanpa mengurangi hasil panen. Produksi beras (bukan lagi gabah,
red) rata-rata 4,5 ton per hektar per musim tanam. Sayang, rotasi pun
ternyata tak berjalan mulus meski hasil panen stabil. Lambat laun Soma
Kazuhiro menemukan gejala tak normal pada sebagian tanaman budidaya,
terutama tumbuhan sesayur buah yang sekerabat dengan kentang.
Pertumbuhan terung dan tomat cenderung melambat, berpostur pendek,
berbatang kurus dan lemah. Tampak pula rona kebiruan pada daun. Sebagian
buah berukuran kecil dan berwarna tak cerah. Tanda-tanda itu ia kenali
sebagai gejala kekurangan unsur hara fosfat (P).
Usut punya usut lahan di Gassan Pilot
Farm banyak mengandung unsur alumunium (Al). Alumunium terlarut dalam
bentuk Al3+ punya kemampuan mengikat fosfat yang ditaburkan ke tanah.
Fosfat pun terikat dalam bentuk senyawa alumunium phospat (AlPO4) yang
mengendap dan tak larut. Fospat dalam bentuk tersebut tak dapat diserap
akar tanaman. Akibatnya tanaman kurang mendapat pasokan fosfat.
Menambah konsentrasi batuan fosfat atau
fosfat anorganik ke dalam tanah juga bukan jawaban. Bila kebanyakan
fosfat cenderung mengendap dan membentuk lapisan yang keras. Ia lantas
mencari cara lain sebagai solusi. Dari sebuah buku “Explicit Green
Manure Plant” ia menemukan ilham memanfaatkan bunga matahari sebagai
pupuk alami sumber fosfat.
Soma Hajime, putra Soma Kazuhiro yang
kini memimpin Gassan Pilot Farm mengemukakan hasil penelitian sebuah
universitas di Jepang. Ada banyak mikroorganisme yang mampu melepas
ikatan Al pada P yang disebut mikroorganisme pelarut fosfat.
Mikroorganisme organisme itu terbagi dalam dua kelompok besar yakni,
bakteri dan fungi. Ternyata perakaran anggota keluarga kenikir-kenikiran
itu selalu didomplengi jamur atau fungi Mycorrhiza Vesicular-Arbuscular
(MVA). Mycorrhiza yang berasosiasi dengan bunga matahari termasuk tipe
yang mampu melepaskan fosfat yang terikat alumunium. Ia mengeluarkan
beragam asam organik dan enzim sehingga P terlepas lalu dapat diserap
tanaman inang.
Sejak itu Gassan Pilot Farm menggilir
lahan pascatanaman utama dengan bunga matahari. Biomassanya—biasanya
berumur 4 bulan bulan pascatanam—dibiarkan membusuk dan terurai
menyediakan fosfat siap serap bagi tanaman. Sejatinya teknik itu mirip
dengan mengistirahatkan (bera) tanah dalam teknik pertanian tradisional
di beberapa wilayah di Indonesia. Bedanya dalam masa istirahat lahan
ditanami tanaman yang dapat memulihkan lahan yang “lelah” berproduksi.
“Meski ia bagian dalam pergiliran
tanaman, periode penanamannya bisa 10 tahun sekali. Tapi di negeri
tropis, bisa saja ditanam dengan frekuensi yang lebih sering dan periode
tanam yang lebih singkat,” tutur Hajime Soma.
Layak Tiru
Bungamatahari sebagai pemasok fungi
pelarut fosfat mengundang decak kagum Yukiko Oyanagi. Staff ahli
pertanian di Asian Rural Institute itu mengaku baru mengetahui hal itu.
“Saya sudah berkeliling ke pertanian organik di banyak negara di seluruh
Asia dan Pasific, tapi baru menemukan di sini. Ini sebuah terobosan
yang ramah lingkungan,” katanya. Ia juga mengakui kondisi tanah jepang
banyak mengandung unsur logam seperti alumunium dan besi. Penyebabnya
bahan induk tanah kebanyakan berasal dari muntahan material gunung
berapi yang banyak terdapat di Jepang.
Kondisi alam Jepang bisa dikatakan
serupa dengan di tanahair. Negeri Matahari Terbit itu berada di jalur
pegunungan berapi (ring of fire) dan tanahnya cenderung masam. Pada
tanah masam, fosfat yang dapat diserap tanaman akan sangat kecil meski
diberikan masukan berlimpah dari luar. Fosfor akan terikat oleh
alumunium (AlPO4), besi (FePO4), dan kadang terikat oleh mangan (MnPO4).
Di tanah air jenis tanah masam seperti
Ultisol, Alfisol, dan Entisol pun banyak mengandung Alumunium terlarut.
Bukan tidak mungkin teknik ala pertanian Shonai, Jepang, dapat diadopsi
di Indonesia. Ia tentu tak hanya menyuburkan tanah secara alami. Lahan
pertanian pun bakal terlihat cantik.
Memang yang cantik selalu cocok buat petani. Ahahaha!
#Juga dimuat Trubus edisi November 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar